Menu

Mode Gelap
Bupati Yosep Sahaka Tekankan Percepatan Pembangunan dan Integritas Pelayanan Publik Pastikan Berjalan Lancar, Dandim Kolaka 1412 Kolaka Pantau Pra-TMMD ke-126 di Kecamatan Uesi Didukung PT Antam, Masyarakat Tambea Panen 1 Ton Teripang Budidaya Mendukung Marwah Profesionalisme TNI Walikota Kendari Kucurkan Beasiswa Rp1,5 Miliar Pemprov Anggarkan Rp47,3 Miliar untuk Perbaikan Jalan di Butur

Colomnis

Mendukung Marwah Profesionalisme TNI

badge-check


 Mendukung Marwah Profesionalisme TNI Perbesar

Oleh: La Ode M. Aslan

Beberapa waktu terakhir, wacana mengenai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjaga Gedung DPR/MPR kembali mengemuka. Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafri Sjamsuddin mengaku telah menyetujui TNI dikerahkan untuk menjaga gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta (Selasa 16/9). Argumentasi yang dipakai adalah soal keamanan obyek vital dan simbol negara. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah benar tugas TNI adalah menjaga gedung parlemen?

Dalam diskursus ketatanegaraan, marwah profesionalisme TNI tidak boleh dikaburkan. TNI dibentuk dan dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai penjaga gedung politik. Kehadiran TNI di ranah sipil, apalagi di lingkungan lembaga politik seperti DPR/MPR, justru dapat mereduksi profesionalisme dan fungsi utamanya.

TNI: Alat Pertahanan Negara

UUD 1945 Pasal 30 menegaskan bahwa pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. TNI menjadi kekuatan utama, Polri menjadi kekuatan keamanan. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI juga menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah:

Menegakkan kedaulatan negara.

Mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.

Melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan gangguan.

Dengan kerangka hukum ini, jelas bahwa orientasi TNI adalah pertahanan negara dari ancaman eksternal maupun ancaman bersenjata, bukan untuk pengamanan gedung-gedung pemerintahan sipil sehari-hari.

Jika ada kerusuhan di DPR, siapa yang seharusnya bertugas? Jawabannya jelas: Polri, karena sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002, Polri berwenang menjaga ketertiban, keamanan masyarakat, dan penegakan hukum. TNI hanya boleh dilibatkan dalam konteks perbantuan, itupun harus melalui keputusan politik negara dan bersifat sementara.

Bahaya Kaburnya Batas Peran

Menugaskan TNI menjaga Gedung DPR/MPR tidak hanya melanggar prinsip dasar pembagian tugas antara pertahanan dan keamanan, tetapi juga berbahaya bagi konsolidasi demokrasi. Ada beberapa risiko yang bisa muncul:

Pertama, kaburnya batas sipil-militer. Reformasi 1998 telah menegaskan pemisahan TNI dan Polri agar fungsi pertahanan dan keamanan tidak tumpang tindih. Jika TNI kembali masuk ke ranah keamanan dalam negeri, ini berarti kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia.

Kedua, melemahkan profesionalisme TNI. Profesionalisme TNI ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapi ancaman militer, bukan dalam menjaga gedung politik. Jika prajurit terlalu sering dikerahkan untuk urusan domestik sipil, mereka bisa kehilangan fokus terhadap modernisasi pertahanan dan peningkatan kapasitas tempur.

Ketiga, berpotensi politisasi TNI. Gedung DPR/MPR adalah pusat politik. Menempatkan TNI di sana bisa menimbulkan persepsi bahwa TNI sedang “menjaga politisi”, bukan bangsa. Hal ini rawan menyeret TNI ke pusaran politik praktis, sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat netralitas yang selalu dikumandangkan.

Profesionalisme: Jalan Panjang yang Harus Dijaga

Sejak reformasi, TNI telah menempuh jalan panjang untuk membangun citra profesional. TNI tidak lagi duduk di parlemen, tidak lagi terlibat dalam politik praktis, dan fokus pada bidang pertahanan. Citra ini penting dijaga, sebab tanpa profesionalisme, TNI akan kehilangan kepercayaan publik.

Profesionalisme TNI tidak hanya soal kecakapan militer, tetapi juga soal penempatan peran yang tepat. Seorang dokter menjadi profesional karena bekerja di bidang medis, bukan karena ia pandai berdebat di ruang sidang. Demikian pula TNI, profesionalismenya akan semakin teruji di medan tempur, patroli laut, pertahanan udara, operasi perdamaian, atau latihan gabungan, bukan di depan pagar gedung parlemen.

Tugas Polri yang Tidak Boleh Digeser

Perlu ditegaskan bahwa pengamanan Gedung DPR/MPR merupakan ranah Polri. Polisi adalah institusi yang dilatih untuk menghadapi massa, mengendalikan kerusuhan, hingga melakukan penegakan hukum. Jika ada yang menganggap Polri tidak mampu, solusinya bukan memindahkan tugas ke TNI, melainkan memperkuat kapasitas dan integritas Polri.

Menyeret TNI ke ranah yang bukan tugas pokoknya justru akan menimbulkan masalah baru. Alih-alih memperkuat demokrasi, ini akan menciptakan dualisme kewenangan dan menurunkan kepercayaan masyarakat.

Belajar dari Pengalaman

Sejarah telah mengajarkan kita. Pada era Orde Baru, TNI (dulu ABRI) terlalu banyak campur tangan dalam urusan politik, keamanan dalam negeri, bahkan birokrasi sipil. Hasilnya, profesionalisme militer tergerus, demokrasi terhambat, dan akhirnya bangsa ini harus melakukan koreksi besar melalui reformasi 1998.

Kini, setelah 26 tahun reformasi, kita mestinya belajar. Jangan sampai ada langkah mundur dengan mengembalikan TNI ke peran penjaga gedung parlemen. TNI bukan satpam politik.

Mengukuhkan Marwah TNI

Mengukuhkan marwah profesionalisme TNI berarti meneguhkan kembali posisinya sebagai alat pertahanan negara. Ada beberapa langkah yang seharusnya diprioritaskan:

Pertama, Fokus pada modernisasi alutsista. TNI perlu dipersiapkan menghadapi ancaman global, termasuk konflik geopolitik di Laut China Selatan, ancaman siber, dan perang generasi kelima.

Kedua, Meningkatkan kesejahteraan prajurit. Profesionalisme tidak akan tumbuh jika prajurit masih harus memikirkan kebutuhan dasar yang tidak tercukupi.

Ketiga, Memperkuat pendidikan dan latihan. TNI harus terus mengasah kemampuan tempur, strategi, dan teknologi agar siap menghadapi ancaman nyata, bukan sibuk menjaga demonstrasi di Senayan.

Keempat,Menjaga netralitas politik. Netralitas adalah modal utama agar TNI tetap dipercaya rakyat. Kehadiran di gedung politik akan merusak citra netralitas ini.

Kelima, Meningkatkan diplomasi militer. Di era global, TNI juga harus berperan dalam memperkuat kerja sama internasional, bukan mengurusi keamanan obyek vital sipil yang sudah ada otoritasnya.

Penutup: Profesionalisme versus Politik

Menghadirkan TNI sebagai penjaga DPR/MPR adalah langkah mundur. Ini bukan hanya soal prosedur teknis, melainkan soal marwah dan masa depan institusi militer kita. TNI seharusnya tampil sebagai kekuatan pertahanan modern yang disegani di kawasan, bukan sebagai satpam politik yang menjaga gedung wakil rakyat.

Marwah profesionalisme TNI harus dikembalikan dan dijaga. Caranya sederhana: letakkan TNI pada perannya yang asli, jangan geser ke ranah yang bukan wewenangnya. Polri biarlah menjalankan tugas pengamanan, sementara TNI fokus menegakkan kedaulatan dan mempertahankan NKRI.

Sejarah telah menunjukkan bahwa campur tangan militer dalam politik hanya akan membawa masalah. Saatnya kita belajar dan berani berkata: TNI bukan untuk menjaga gedung DPR/MPR, tetapi untuk menjaga bangsa dan negara. Profesionalisme TNI, Yes.

Penulis adalah Guru besar UHO dan Pemerhati Politik kebangsaan

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Ironi Negara One Piece

17 Agustus 2025 - 19:02 WITA

Gen Z dan Pilihan Ilmu Budidaya perairan : Masa Depan Indonesia dan Dunia

12 Agustus 2025 - 22:45 WITA

CSR Pertanian Berbasis ESG: Perusahaan Jangan Sekadar Menggugurkan Kewajiban

22 Juli 2025 - 20:43 WITA

Kesenjangan Sosial Ekonomi di Lumbung Tambang, Optimalisasi CSR dan PPM Solusinya

11 Juni 2025 - 21:23 WITA

Koperasi Merah Putih: Strategi Inklusif Menuju Desa Sejahtera dan Mandiri

26 Mei 2025 - 21:28 WITA

Trending di Colomnis