WARTASUAR.COM, KOLAKA UTARA – Wakil Bupati Kolaka Utara, H. Jumarding, SE, menegaskan bahwa jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) tidak boleh dirangkap dengan jabatan Rektor di luar struktur pemerintahan. Pernyataan ini disampaikan menanggapi sorotan publik dan pengamat politik terkait rangkap jabatan Sekda Kolaka Utara yang saat ini juga menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Kolaka Utara (UMKOTA).
“Apapun alasannya, Sekda harus mundur dari jabatan sebagai Rektor supaya bisa menjaga netralitas dan profesionalisme dalam bekerja di pemerintahan. Rangkap jabatan bisa menimbulkan konflik kepentingan, apalagi jika menyangkut posisi pengambil kebijakan,” tegasnya.
H. Jumarding menjelaskan, jabatan Rektor adalah posisi pembuat kebijakan di perguruan tinggi, sedangkan Sekda adalah pengambil kebijakan di pemerintahan daerah, termasuk bagian dari tim anggaran. Kondisi ini rawan benturan kepentingan, terutama jika ada hubungan antara pemberi hibah dan penerima hibah. “Aturan sudah jelas, baik dalam undang-undang pemerintahan, peraturan BKN, maupun peraturan menteri,” ujarnya.
Ia mencontohkan pengalamannya saat memimpin perusahaan sebelum menjadi Wabup. “Jangankan jadi Rektor, saat saya masih menjabat direktur perusahaan pribadi pun saya mundur demi menjaga netralitas dan menghindari konflik kepentingan,” katanya.
H. Jumarding juga mengungkapkan bahwa pengangkatan Sekda, mulai dari saat berstatus Pelaksana (PLS) hingga Penjabat (PJ), tidak pernah dikomunikasikan langsung kepadanya. “Sebagai Wakil Bupati, saya tidak pernah mendapat komunikasi resmi terkait proses pengangkatan tersebut,” ujarnya.
Saat ini, H. Muhammad Idrus, S.Sos., M.Si. menjabat sebagai Penjabat Sekda Kolaka Utara dengan masa tugas selama enam bulan. Ia juga memiliki mandat untuk menyiapkan Sekda definitif. Namun, statusnya sebagai PJ tidak menghilangkan potensi terjadinya konflik kepentingan jika merangkap jabatan di luar pemerintahan.
H. Jumarding menegaskan bahwa dirinya tidak menolak penunjukan Pj. Sekda saat ini. “Saya tidak menolak beliau menjabat sebagai Pj. Sekda. Tetapi jika ingin tetap menjabat sebagai s kda , maka harus mengundurkan diri dari jabatan rektor. Itu demi menjaga integritas, netralitas, dan profesionalisme pemerintahan,” tegasnya.
Menurut H. Jumarding, praktik rangkap jabatan di lingkup Pemerintah Daerah Kolaka Utara menimbulkan perdebatan dari aspek hukum dan etika profesionalisme ASN. Ia menegaskan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, hingga PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, mengatur larangan rangkap jabatan bagi pejabat administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi tanpa izin pejabat berwenang.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menegaskan larangan konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan. “Kalau Sekda sekaligus Rektor, risiko konflik kepentingan sangat besar. Misalnya, memberi bantuan atau hibah kepada kampus yang ia pimpin. Itu bisa menjadi penyalahgunaan wewenang, bahkan masuk kategori korupsi,” jelasnya.
H. Jumarding menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 dan putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 juga memperkuat larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara, baik di BUMN, BUMD, maupun lembaga swasta yang dibiayai APBN/APBD.
“Larangan rangkap jabatan ini bukan hanya soal aturan, tapi soal menjaga kepercayaan publik, netralitas, dan profesionalisme ASN. Oleh karena itu, saya minta pejabat yang merangkap jabatan sebagai Rektor di perguruan tinggi swasta untuk mengundurkan diri demi menjaga integritas pemerintahan,” tegasnya.(Lea)
Facebook Comments Box