(*) Oleh: La Ode M. Aslan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan potensi akuakultur luar biasa. Luas potensi wilayah perairan budidaya mencapai lebih dari 12 juta hektare, namun baru sekitar 15% yang termanfaatkan secara optimal. Dalam era krisis pangan global dan perubahan iklim, sektor budidaya perairan bukan hanya relevan, tapi juga strategis.
Ironisnya, di tengah peluang ekonomi biru yang terus dibuka, generasi muda—minat generasi muda—khususnya Gen Z—terhadap budidaya perairan masih rendah. Padahal dengan rentang usia yang masih sangat muda Generasi Z (Gen Z) merupakan kelompok generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Dengan demikian, pada tahun 2025, usia Gen Z berada di kisaran 13 hingga 28 tahun. Masih sangat tinggi energi dan jiwa inovatifnya !
Gen Z cenderung sangat gemar teknologi, inovasi. Di sisi lain, bidang ilmu budidaya perairanmrupakan ladang emas masa depan. Tak hanya bisa menjadi teknopreneur di bidang budidaya perairan/akuakultur, Gen Z juga berpeluang merambah sektor ekspor, industri pangan sehat, hingga blue carbon farming yang mendukung dekarbonisasi global.
Prospek budidaya perairan dalam 5–10 tahun ke depan sangat cerah. Permintaan global atas pangan akuatik terus meningkat. Berdasarkan laporan terakhir yang tersedia dari FAO, khususnya“The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) 2024”diperkirakan bahwakonsumsi ikan per kapita global akan mencapai sekitar 22,8 kg pada tahun 2030, naik dari sekitar 20,2 kg pada tahun 2020. Untuk tahun 2045, meskipun angka pastinya tidak selalu disebutkan secara eksplisit dalam laporan, Tren menunjukkan peningkatan bertahap dalam konsumsi produk perikanan dan akuakultur, terutama karena pertumbuhan penduduk global, meningkatnya kesadaran gizi, dan peran penting akuakultur dalam menyuplai kebutuhan protein hewani yang berkelanjutan.Jika tren pertumbuhan konsumsi ikan per kapita sekitar 0,3–0,5 kg per dekade, makaperkiraan kasar untuk konsumsi per kapita produk akuakultur di tahun 2045 bisa berada di kisaran 24–25 kg per tahun, denganlebih dari 60% berasal dari akuakultur, mengikuti tren saat ini.
Fakta di Lapangan: Jumlah Peminat Menurun
Beberapa data dan pengamatan menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan:
- Di sejumlah perguruan tinggi, program studi budidaya perairan sering tidak mencapai kuota minimum penerimaan mahasiswa baru.
- Hasil pemantauan SNPMB tahun 2022–2024 menunjukkan bahwa peminat jurusan perikanan dan kelautan < 1% dari total pendaftar nasional.
- Di beberapa kampus, mahasiswa yang masuk prodi perikanan menyatakan bahwa jurusan/ program studi ini bukan pilihan utama mereka, melainkan karena seleksi yang terbatas.
Mengapa Gen Z Tidak Tertarik?
Ada 5 (lima) alasan utama yang penulis identifikasi:
Pertama, Citra Profesi yang Kurang Menarik
Budidaya perairan, atau akuakultur, sering kali diasosiasikan sebagai pekerjaan yang fisik, berlumpur, dan tradisional—dan bukan sebagai profesi yang “keren” atau bergengsi di mata anak muda. Fenomena ini tidak terjadi begitu saja; ia lahir dari gabungan persepsi sosial, pengalaman historis, serta kurangnya transformasi narasi publik. Budidaya perairan secara konvensional dilakukan di kolam, tambak, keramba, atau pesisir pantai. Prosesnya sering melibatkan: menebar benih, memberi pakan manual, menangkap ikan atau panen rumput laut dengan tangan, dan berada di bawah terik matahari dan terkena lumpur atau air laut.
Citra ini membentuk kesan bahwa pekerjaan budidaya perairan identik dengan tenaga kasar, bukan kecerdasan, teknologi, atau kreativitas—yang banyak dicari oleh generasi muda saat ini.
Kedua, Kurangnya Paparan Teknologi dan Inovasi
Akuakultur modern sudah berkembang dengan teknologi seperti pemanfaatan Internet of Things (IoT)untuk monitoring kualitas air secarareal-time dan otomatis, aplikasi digital untuk manajemen kolam, dan sistem bioflok, pemanfaatan AI sebagai pendukung alat pemberi pakan otomatis, drone untuk pengawasan tambak, AI untuk prediksi panen.atau bioteknologi dalamperbaikan strain ikan dan rumput laut, Namun narasi ini belum tersebar luas di media arusutama. Sebagian besar masyarakat, termasuk anak muda atau Gen Z , belum melihatmelihat sisi futuristikakuakultur sebagai sektor berbasis inovasi dan riset.
Ketiga, Minimnya Representasi Inspiratif atau Role Model
Berbeda dengan profesi digital atau startup yang banyak digandrungi, sosok panutan muda yang sukses di sektor akuakultur masih jarang ditampilkan di media atau media sosial.Media, kurikulum sekolah, dan promosi kampus jarang menampilkan figur sukses dari dunia budidaya perairan. Sangat minim promosi “role model” yang menunjukkan bahwa akuakultur bisa menghasilkan pendapatan tinggi, petani ikan bisa menjadi inovator atau entrepreneur sukses, dan budidaya bisa berkontribusi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan global.
Keempat, Pengabaian dalam Strategi Branding Profesi
Sektor akuakultur belum membangun branding profesi yang kuat. Tidak seperti “start-up founder”, “data analyst”, atau “sustainability consultant” yang terdengar keren, istilah seperti “pembudidaya ikan” atau “petani rumput laut” masih terdengar jadul atau konservatif.
Kelima, Belum Terhubung dengan Isu Besar
Gen Z dikenal sebagai generasi yang aktif mengikuti isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap bumi, memperjuangkan keadilan pangan dan akses terhadap makanan bergizi, mendukung produk dan profesi yang mengusung prinsip keberlanjutan, dan lebih memilih brand dan gaya hidup yang etis dan ramah lingkungan.Mereka ingin menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.Sayangnya, banyak dari mereka belum sepenuhnya faham bahwa budidaya perairan adalah sistem pangan yang paling efisien dan beremisi rendah, belum kenal secara utuh bahwa rumput laut bisa menyerap karbon, memperbaiki kualitas laut, dan tidak membutuhkan lahan/tanah,kurang informasi bahwa akuakultur bisa membantu mengurangi overfishing dan menjaga keberlanjutan stok ikan liar, dan belum menganggap profesi budidaya sebagai jalan untuk berkontribusi dalam agenda perubahan iklim atau ketahanan pangan dunia.
Strategi Meningkatkan Daya Tarik Budidaya perairan bagi Gen Z
Ada 5 (lima) strategi yang perlu dilakukan:
Pertama, Rebranding: Budidaya perairan sebagai Profesi Masa Depan
Narasi tentang budidaya perairan harus diubah: bukan sekadar pekerjaan tambak, tapi karier di bidang teknologi, bioteknologi, dan keberlanjutan.Contoh: aquaculture engineer, marine tech startup founder, sustainable food innovator.
Kedua, Integrasi Teknologi dan Kewirausahaan dalam Kurikulum
Pendidikan budidaya perairan harus menyatu dengan digitalisasi dan big data, inovasi produk perikanan, dan entrepreneur muda bidang akuakultur
Ketiga, Promosi lewat Media Sosial dan Konten Kreatif
Kampus dan Kementerian perlu mendukung Konten TikTok, YouTube, dan Instagram yang menampilkan kisah sukses petambak milenial, Vlog mahasiswa budidaya perairan, dan tantangan dan lomba video bertema “Blue Jobs for the Future”
Keempat, Beasiswa dan Inkubasi Startup Akuakultur
Insentif finansial seperti beasiswa full untuk mahasiswa baru program akuakultur, kompetisi ide bisnis bidang perikanan dan inkubator usaha pemuda tambak dengan dana bergulir
Kelima, Keterlibatan Alumni dan Praktisi Milenial
Libatkan alumni muda sukses di sektor ini untuk mengisi kuliah umum, menjadi mentor dan jejaring dengan mahasiswa baru
Penutup: Menjadikan Budidaya perairan sebagai Pilihan Masa Depan
Indonesia membutuhkan generasi baru yang mampu menjawab tantangan krisis pangan dan perubahan iklim. Budidaya perairan modern adalah jawaban strategis. Namun, untuk menarik Gen Z, kita harus mengubah cara kita berbicara, mengajar, dan memperkenalkan bidang ini.
Kuncinya adalah mengemas perikanan bukan sebagai masa lalu yang kita pertahankan, tetapi sebagai masa depan yang layak diperjuangkan.
(*) Penulis adalah Guru Besar Jurusan Budidaya Perairan UHO